Sabtu, 01 Maret 2008

ANALOGI BANJIRNYA KALI KRESEK

Setiap kali saya bermain di kolam renang Tirtayasa (Kuwak), ataupun di kolam renang Paggora, perjalanan saya selalu melewati kali Kresek yang berada di sisi timur Taman Makam pahlawan Kediri, atau disebelah barat dari Asrama Polisi. Ciri khas kali Kresek di kawasan itu adalah dasar kali yang berbatuan, besar-besar lagi. Setelah belajar di SMA, saya baru mengetahui bahwa kali Kresek bermuara ke sungai Brantas yang berada di daerah Gampengrejo,seiring dengan meningkatnya frekuensi kunjungan saya ke rumah mbah kakung (mbah Lurah Tosari Nurhasyim) di desa Juwet Minggiran.

Lalu ada apa dengan kali Kresek, nah berita media cetak kemarin sedikit mengejutkan saya, karena limpahan air kali Kresek meluber kemana-mana sehingga membanjiri lahan persawahan yang siap panen di empat desa daerah Gampengrejo yaitu, Kewadungan, Sambirejo, Mutih dan Karangrejo.
Dipastikan sekitar 95 hektar sawah di sepanjang kiri dan kanan kali Kresek akan gagal panen periode ini, padahaldalamkondisi ekonomi yang susah seperti sekarang para petani hanya megantungkan nasib ekonominya dari kegiatan bertani.
Kalau banjir karena luapan air kali,….kan terjadi dimana-mana, di seantero wilayah tanah air kita, sehingga bukan lagi suatu peristiwa luar biasa, apalagi banjirnya cuman dalam wujud air dan paling-paling 4 sampai 5 hari juga sudah surut dan selesai. Sedangkan di Porong Sidoarjo ada banjir yang berlangsung bertahun-tahun tidak pernah surut, luberannya bukan hanya air tapi mayoritas luapan lumpur panas ditambah gas berbahaya lagi,…..anehnya tidak ditindak-lanjuti sebagai peristiwa darurat luar biasa yang harus segera di selesaikan secara tuntas. Saya membuat analogi ini bukan untuk mengecilkan arti penderitaan para petani disepanjang kali Kresek yang kebanjiran, akan tetapi sekedar mengingatkan bahwa kita harus bersiap-siap kecewa manakala “sekedar mengharapkan bantuan dari instansi publik, mengingat beliau-beliau yang di Jakarta saja sedang pusing menjalankan perintah Presiden untuk menuntaskan luapan lumpur Sidoarjo”. Anda mungkin tidak akan percaya, bahwa seorang Presiden sampai harus memindahkan kantornya ke lokasi musibah, dan mengendalikan pemerintahannya dari tempat terjadinya bencana. Salah satunya adalah Presiden SBY kita, yang menginstruksikan langsung untuk penuntasan masalah luapan lumpur dan gas berbahaya, sehingga masyarakat miskin yang menderita tidak terus berkelanjutan teraniaya oleh urusan bisnis yang mengawali kejadian musibah tersebut.
Koran Kompas pernah memuat berita (yang seharusnya menggembirakan kita) bahwa ada pihak pengusaha kontraktor teknik dari Jerman, yang sanggup menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo tersebut dengan kompensasi biaya sekian juta $ US. Namun saya dan anak-anak saya bersepakat dalam satu pendapat bahwa tawaran itu pasti ditolak (oleh beliau-beliau?), dengan perkiraan positif bahwa pihak pelaksana teknis bisnis pengeboran masih sanggup melaksanakan “penghentian semburan lumpur”, sedangkan perkiraan negatifnya ikuti saja cara-cara China, yang piawai dan sukses dalam menjalankan pencurian teknologi tinggi seperti halnya negara tetangganya Jepang. Mohon diartikan saya menulis bisnis pengeboran dengan huruf tebal, dengan sengaja agar tidak diplesetkan dalam pengambilan peran tangung jawabnya, mengingat diskusi di gedung parlemen sudah diarahkan bentukkan opininya bahwa semburan lumpur dan gas itu bukanlah tujuan bisnis, karena tidak akan mendatangkan keuntungan apapun bagi pihak pengebor!.
Jadi masalah yang terjadi adalah kesalahan pelaksanaan teknis dari proses pengeboran, atau yang sering disebut secara umum sebagai bencana teknologi, karena semburan lumpur dan gas itu terjadi sebagai akibat adanya aktivitas teknologi. Itulah kondisi faktual yang secara kronologis dapat dilaporkan dalam berbagai laporan ilmiah bidang teknologi, sebagai pembelajaran bagi generasi masa datang. Janganlah kita merekayasa proses kejadian kesalahan penerapan bencana teknologi sebagai ekspresi upaya manusia untuk meningkatkan kesejahteraannya, dengan mengalihkannya menjadi peristiwa alam sehingga kejadian tersebut menjadi bencana alam.
Di posisi cara berpikir inilah kita sekarang sedang diuji untuk berani jujur mengakui akan kesalahan dan keterbatasan sebagai hamba, karena Tuhan akan marah manakala muncul kesombongan dalam diri manusia yang melakukan pembenaran dengan meyalahkan rencanaTuhan dalam bentuk pemberian label penyebab semburan lumpur dan gas beracun sebagai bencana alam, alias di luar tanggung jawab penyebab manusiawi. Persis seperti terjadinya banjir karena meningkatnya debit air sungai di luar kapasitas sungai bersangkutan, sebagai akibat menurunnya penyerapan air karena hutannya digunduli orang. Kemudian kita memberikan label bencana alam, sementara bos-bos pembalak hutan dengan bebas menikmati hasil bisnis dan menanam dananya sebagai devisa tambahan justru di negara lain.
Tidak mudah memang, namun harus kita mulai dari sekarang, untuk berani mengambil resiko tanggung-jawab bisnis yang merugi. Jangan berdagang hanya mau untungnya saja, karena keuntungan itu adalah rejeki yang menjadi hak serta skenarionya Allah, kecuali memang dengan sengaja akan mengingkari hakikat keimanannya. Naudzubillah mindzalik.
Kita selayaknya takut untuk berbuat tidak adil kepada sesama hamba Tuhan, tapi selayaknya kita juga takut kepada pencatutan skenario Allah dalam proses bencana alam.

Analogi banjirnya kali Kresek memang jauh dari penyebab bencana teknologi, namun patut disyukuri bahwa setidaknya kita tidak lagi menyatakan penyebabnya sebagai bencana alam pada luapan air bah di kali Kresek, karena kita juga tahu, bahwa terjadi penyempitan lebar kali karena adanya pengembangan tata bangunan di wilayah tertentu, serta meningkatnya debit air sebagai akibat penebangan pohon di lereng gunung Kelud yang menjadi lokasi hulu kali. Dengan demikian kita sudah berusaha menjauhi dosa dengan cara menutupi dosa melalui skenario Tuhan yang bernama bencana alam. Bagi mereka yang tidak sepaham dengan pemikiran seperti ini adalah hak mereka pula, karena memang Tuhan Maha Kaya dengan segala bentuk variasi serta formulasi pikiran hamba-hambaNya.

Jakarta, 1 Maret 2008