Selasa, 19 Februari 2008

FENOMENA BANJIR YANG MENYENGSARAKAN DAN MENGHIBUR?


Bagi kita, seolah datangnya musim hujan dan terjadinya banjir bukan lagi merupakan suatu hal yang dikotomis, akan tetapi kejadian keduanya justru merupakan hal yang komplementer (saling mengisi). Namun kali ini saya tidak ingin mengangkat tulisan tentang pembangunan yang tidak “utuh” (holistic) serta tidak pula mampu melihat dan memprediksi jauh ke depan (outword-looking), sehingga terkesan sebagai program pembangunan tambal sulam, parsial, asal-asalan bahkan short term oriented pada pagu anggaran se-tahunan.


Saya hanya ingin mengenang masa kecil di tahun enampuluhan dengan banjir-nya kota kelahiran saya Kediri, yang terjadi pada setiap musim hujan. Apanya yang aneh dengan musibah banjir tahunan itu sehingga saya perlu menuliskan kembali “sesuatu yang mengganjal pikiran saya sejak kecil”, karena banjir yang melanda hampir seperempat luas kota Kediri itu justru menjadi tontonan rutin bagi sebagian masyarakat yang tidak terkena musibah, dan dianggapnya sebagai sesuatu yang “menghibur”. Manakala banjir hanya setinggi lutut di wilayah terendah yaitu di depan masjid besar dan alun-alun, maka hal itu dianggap kejadian biasa-biasa saja, dan seolah tidak ada yang perlu ditanggapi, karena rutinitasnya musim, memang harus banjir. Yang aneh justru harapan masyarakat yang tidak terkena banjir, agar sang banjir semakin membludak dan permukaan air semakin tinggi menggenangi atap-atap rumah di daerah Kauman. Manakala batas luberan air banjir ini sudah melewati gedung bioskop REX, maka segera kabar “gembira” itu menyebar ke seluruh pelosok kota, dan tak pelak lagi jalan Dhoho ke selatan (perempatan sumur bor) akan penuh sesak oleh warga yang ingin menonton dan menikmati luapan sungai Barntas itu dengan wisata perahu-nya di tengah kota.

Berita besar kecilnya luapan banjir yang akan terjadi di kota Kediri, juga bisa di deteksi dengan kondisi ditutup tidaknya lalu lintas darat yang melewati jembatan (kreteg) Ngujang (Jalan antara Kediri dan Tulung Agung), sehingga para “penggemar banjir (?)” dapat mengantisipasi perlu tidaknya menonton dan menikmati banjir di tengah kota. Inilah kasus kemanusiaan yang disebut dengan ketidakpedulian-sosial , atau dalam istilah psychology-nya Jerome K & Yulius Segal (1992) disebut sebagai bystander apathy.Tulisan Abdul Mu’ti (Direktur Eksekutif CDCC Jakarta) pada harian SINDO 15 Februari 2008 yang berjudul Bencanataintment, menarik perhatian saya untuk membahas fenomena sosiologis seperti ini. Bencana ternyata tidak selalu monofocus pada satu layar kemanusiaan dari angle warga masyarakat yang menderita kerugian harta, benda bahkan mungkin nyawa sekalipun, akan tetapi sudah bias sampai pada layar komoditas hiburan dan komoditas politik serta komoditas-komoditas yang lain.Kita masih ingat kasus bencana Tsunami di Aceh, dengan munculnya kasus bantuan yang mengendap di gudang-gudang dalam penguasaan Lembaga Swadaya Masyarakat tertentu, sementara masyarakat yang membutuhkan “ngap-ngapan” menunggu bantuan. Kita juga masih ingat, bahwa kejadian bencana, telah menjadi objek pergulatan persaingan pengaruh kekuasaan serta dukungan politik, yang bersifat seremonial, bahkan nyaris menjadi iklan partai politik melalui liputan televisi, karena dengan sengaja disiarkan berulang-ulang, demi kompensasi biaya, dan atas nama keseimbangan berita.Selanjutnya Abdul Mu’ti menyebutkan bahwa maraknya sikap asosial dari para penjual dan penonton musibah, bencana kemanusiaan ini merupakan fenomena tersendiri dari kerusakkan moral serta keroposnya bangunan sosial. Dicky S,Phd, dosen psikologi sosial Universitas Gadjah Mada, saat memberikan perkuliahan yang saya ikuti pada tahun 1992, sudah memprediksi makin berkembangnya masalah ketidak pedulian-sosial (psikologi sosial negatif) ini, seiring dan sejalan dengan meningkatnya penganut faham materialism-konsumerism, di tanah air. Bahkan satu dekade sebelumnya hal itu telah melanda Amerika Serikat dan sebagian daratan Eropa.


Waah, saya kok jadi serius ngomong mimbar akademik segala…..padahal kejadian yang saya alami saat ikutan menonton banjir, sambil membawa bekas bola lampu pijar yang diikat tali rami dan dihubungkan dengan sepotong bambu untuk mencari jejak agar tidak masuk ke lubang got, hanyalah peristiwa anak Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) yang bertanya-tanya pada dirinya, “mengapa musibah justru ditonton dan dianggap sebagai suatu objek hiburan?”. Bystander apathy, merupakan realitas sosial yang sudah dianggap lazim terjadi dalam kehidupan masyarakat modern, karena pengaruh banyak hal dalam kaitan hubungan kemanusiaan, antara lain; kurangnya keakraban (intimacy), rendahnya kebersamaan (cohesiveness), dan kondisi kurang saling mengenal (anonymity). Padahal itu semua dapat dipenuhi melalui aktivitas lingkungan yang sarat dengan makna dan kepekaan sosial seperti; kerja bakti warga, arisan warga, silaturochim antar warga. Namun karena solusi itu “murah meriah dan mudah” untuk dilaksanakan, masyarakat yang sudah terlanjur bersikap materialism dengan selera tinggi serta tinggi pula sifat konsumerisme-nya, menganggap langkah dan tindakan yang peka sosial itu justru suatu anomaly social (kelainan sosial).

Lho, kok jadi begini? .

Jamannya memang jaman edan,…………


Cizantoeng tiga, medio tengah Februari 2008. Darsana Setiawan (adike Basuki-tasiun)

1 komentar:

DARSANA SETIAWAN ("Darsono-tasiun" NIS 2988/67) mengatakan...

beda zamannya....emang sekarang jaman apaan?....